23 November 2008

akhlak terhadap lingkungan,agama dan lingkungan,isi makalah lingkungan dan agama

c. Akhlak terhadap lingkungan
 oleh: bagus af
Yang dimaksud lingkungan di sini adalah  segala  sesuatu  yang
berada  di  sekitar  manusia,  baik binatang, tumbuh-tumbuhan,
maupun benda-benda tak bernyawa.
 
Pada  dasarnya,  akhlak  yang  diajarkan   Al-Quran   terhadap
lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
 
Kekhalifahan  menuntut  adanya interaksi antara manusia dengan
sesamanya dan manusia terhadap alam.  Kekhalifahan  mengandung
arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap
makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
 
Dalam  pandangan  akhlak  Islam,  seseorang  tidak  dibenarkan
mengambil  buah  sebelum  matang,  atau  memetik bunga sebelum
mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan  kepada
makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
 
Ini   berarti   manusia   dituntut   untuk  mampu  menghormati
proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua  proses
yang   sedang  terjadi.  Yang  demikian  mengantarkan  manusia
bertanggung jawab,  sehingga  ia  tidak  melakukan  perusakan,
bahkan dengan kata lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan
harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri."
 
Binatang, tumbuhan,  dan  benda-benda  tak  bernyawa  semuanya
diciptakan  oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua
memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan
sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan
yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
 
Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am  (6):  38  ditegaskan
bahwa  binatang  melata  dan  burung-burung  pun  adalah  umat
seperti manusia  juga,  sehingga  semuanya  --seperti  ditulis
Al-Qurthubi  (W.  671  H)  di  dalam  tafsirnya-- "Tidak boleh
diperlakukan secara aniaya."
 
Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat
petunjuk   Al-Quran   yang  melarang  melakukan  penganiayaan.
Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut  atau
menebang  pepohonan  pun  terlarang,  kecuali  kalau terpaksa,
tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam  arti  harus  sejalan
dengan   tujuan-tujuan   penciptaan   dan   demi  kemaslahatan
terbesar.
 
     Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau
     kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka
     itu semua adalah atas izin Allah ... (QS Al-Hasyr
     [59]: 5).
 
Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada
kesadaran  bahwa  apa  pun  yang  berada  di  dalam  genggaman
tangannya,   tidak   lain   kecuali    amanat    yang    harus
dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal tanah yang terhampar di
bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara,  dan  setiap
tetes   hujan   yang  tercurah  dari  langit  akan  dimintakan
pertanggungjawaban   manusia   menyangkut   pemeliharaan   dan
pemanfatannya",   demikian   kandungan  penjelasan  Nabi  Saw.
tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur  (102):  8
yang   berbunyi,  "Kamu  sekalian  pasti  akan  diminta  untuk
mempertanggungjawabkan nikmat  (yang  kamu  peroleh)."  Dengan
demikian  bukan  saja  dituntut  agar  tidak  alpa  dan angkuh
terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut
untuk  memperhatikan  apa  yang  sebenarnya  dikehendaki  oleh
Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.
 
     Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang
     berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan)
     yang hak dan pada waktu yang ditentukan (QS Al-Ahqaf
     [46]: 3).
 
Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh  manusia  untuk  tidak
hanya  memikirkan  kepentingan  diri  sendiri,  kelompok, atau
bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus  berpikir  dan
bersikap   demi  kemaslahatan  semua  pihak.  Ia  tidak  boleh
bersikap sebagai penakluk alam  atau  berlaku  sewenang-wenang
terhadapnya.  Memang,  istilah  penaklukan  alam tidak dikenal
dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul  dari  pandangan  mitos
Yunani  yang  beranggapan  bahwa  benda-benda  alam  merupakan
dewa-dewa yang memusuhi manusia sehingga harus ditaklukkan.
 
Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah  Allah.  Manusia
tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan
yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
 
     Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah
     bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai
     kemampuan untuk itu (QS Az-Zukhruf [43]: 13)
 
Jika  demikian,  manusia  tidak  mencari  kemenangan,   tetapi
keselarasan   dengan   alam.  Keduanya  tunduk  kepada  Allah,
sehingga mereka harus dapat bersahabat.
 
Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani  Nabi  Muhammad
Saw.  yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu).
Untuk  menyebarkan  rahmat  itu,  Nabi  Muhammad  Saw.  bahkan
memberi  nama  semua  yang menjadi milik pribadinya, sekalipun
benda-benda itu tak bernyawa. "Nama" memberikan  kesan  adanya
kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran
untuk bersahabat dengan pemilik nama.
 
Sebelum  Eropa  mengenal  Organisasi  Pencinta  Binatang  Nabi
Muhammad Saw. telah mengajarkan,
 
     Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap
     binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik.
 
Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih
ada lagi prinsip taskhir, yang berarti penundukan. Namun dapat
juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan  akar
kata itu dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 11 adalah
 
     Janganlah ada satu kaum yang merendahkan kaum yang
     lain.
 
     Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu; semua yang
     ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat)
     dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
 
Ini berarti bahwa alam  raya  telah  ditundukkan  Allah  untuk
manusia.  Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Namun pada saat yang sama,  manusia  tidak  boleh  tunduk  dan
merendahkan  diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan
Allah untuknya, berapa pun harga  benda-benda  itu.  Ia  tidak
boleh   diperbudak   oleh  benda-benda  itu.  Ia  tidak  boleh
diperbudak    oleh    benda-benda    sehingga     mengorbankan
kepentingannya  sendiri.  Manusia dalam hal ini dituntut untuk
selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun  asalkan
yang   diraihnya   serta  cara  meraihnya  tidak  mengorbankan
kepentingannya di akhirat kelak.
 
                              ***
 
Akhirnya kita dapat mengakhiri uraian  ini  dengan  menyatakan
bahwa  keberagamaan  seseorang  diukur  dari  akhlaknya.  Nabi
bersabda,
 
     Agama adalah hubungan interaksi yang baik.
 
Beliau juga bersabda:
 
     Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan
     (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi
     akhlak yang luhur (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).[]
 
----------------
aaa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar